Minggu, 11 November 2012

ketahui sebenarnya harta dunia

Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan pendorong hati yang menyenangkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.

Menurut Imam al-Ghazali cinta dunia adalah pangkal dari segala dosa. Dunia tidaklah sama dengan harta dan tahta. Harta dan tahta hanyalah bagian terkecil dari kehidupan dunia yang amat luas itu.

Kehidupan dunia adalah kondisi obyektif sebelum meninggalkan dunia. Sedangkan akhirat adalah kondisi obyektif setelah meninggal. Apapun isi kehidupan yang dihadapi sebelum meninggal, maka itu adalah kehidupan dunia, kecuali ilmu pengetahuan, ma'rifat dan kebebasan.

Kehidupan duniawi itu amat variatif. Apa yang ada setelah kematian, juga merupakan wahana kenikmatan, bagi yang memiliki mata hati. Tetapi wahana setelah meninggal itu bukanlah dunia, walaupun muncul di dunia.

Kepentingan manusia terhadap bumi itu pun bervariasi, bergantung pada sisi bumi itu sendiri. Tanahnya secara umum dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat tinggal dan kebun. Tetumbuhannya sebagai obat dan makanan. Barang tambangnya sebagai sumber devisa, bahan-bahan produksi dan berbagai peralatan. Sedangkan binatang-binatang difungsikan sebagai alas kendaraan dan bahan makanan.

Adapun manusia itu sendiri berperan sebagai khalifah Allah yang bertugas memakmurkan bumi dengan melakukan berbagai kebajikan dan mengembangkan keturunan. Namun di balik semua itu berbagai ancaman terselubung terhadap batin, berupa kedengkian, kesombongan, riya', berfoya-foya, cinta dunia dan gila sanjungan.

Sementara kekayaan fisik adalah dunia lahiriah. Kesibukan manusia untuk memakmurkan dan mengelola dunia melalui industri dan profesi, yang membuat manusia sibuk sehingga lupa diri, lupa prinsip dan kehilangan makna hidup.

Menurut Imam al-Ghazali kesibukan itu muncul akibat dua kaitan: pertama, ketergantungan hati karena cinta dunianya, dan kedua, ketergantungan fisik dengan sibuk mengolahnya.

Itulah hakikat dunia, mencintainya merupakan pangkal dari segala dosa. Padahal dunia diciptakan semata sebagai bekal menuju akhirat. Hanya saja gemerlap dunia itu seringkali membuat orang tersesat sehingga lupa pada tujuan hidupnya sebagai musafir menuju alam akhir.

Ibarat pemula yang menunaikan ibadah haji, dia pasti disibukkan dengan segala persiapan dan perbekalan maupun perlengkapan kendaraannya, sehingga akhirnya dia pun tertinggal oleh rombongannya dan gagal menunaikan ibadah haji, malah dimangsa oleh binatang buas di padang pasir.

Itulah dunia yang tercela dan yang menghancurkan. Padahal substansinya adalah ladang akhirat. Kehidupan dunia merupakan salah satu fase perjalanan menuju Allah Swt. la ibarat perumahan yang dibangun di tengah jalan. Di situ segala bekal perjalanan dipersiapkan dan disimpan. Siapa pun yang mempersiapkan dan mengambil bekal perjalanannya di situ sekadar kebutuhan, seperti bekal makanan, pakaian, menikah dan kebutuhan lain, maka la benar-benar menanam tanaman dan akan dipetiknya kelak di akhirat.

Tetapi, barangsiapa melebihi batas dalam mengambil bekal dan terlena olehnya, maka dia bakal binasa. Menurut Imam al-Ghazali hidup di dunia, ibarat suatu kaum yang mengendarai sebuah kapal. Di suatu pulau, kapal itu berlabuh. Para awak kapal menyuruh penumpang turun untuk melihat-lihat kondisi alam di pulau tersebut dan sekaligus memenuhi hajat yang diperlukan.

Akan tetapi, mereka diliputi kekhawatiran tertinggal oleh kapal dan tempatnya diambil alih orang lain. Maka, reaksi mereka pun berbeda-beda satu sama lain.

Ada yang segera turun dan memenuhi hajat kebutuhannya, lalu segera kembali ke kapal sehingga mendapatkan tempat yang luas dan masih kosong.

Ada yang terlena menyaksikan panorama pulau itu, sehingga terlambat naik ke kapal dan akibatnya dia pun tidak mendapatkan tempat yang cukup luas untuk dirinya berikut buah tangan yang dibawanya. Karenanya, buah tangannya itu terpaksa dipikul di atas bahunya hingga ke tempat tujuan.

Demikianlah ilustrasi kehidupan di alam dunia bila dikaitkan dengan kehidupan akhirat. Orang yang mengenal dirinya sendiri, akan mengenal Tuhannya. Siapa yang mengenal perhiasan dunia dan mengenal akhirat, maka la akan menyaksikan dengan cahaya jiwa, betapa kehidupan dunia itu bertentangan dengan kehidupan akhirat. Salah satunya adalah, bahwa seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan di akhirat, kecuali jika menghadap Allah Swt. dengan ma'rifat dan mahabbah kepada-Nya. Dan mahabbah tidak akan bisa dicapai, kecuali dengan melanggengkan dzikir.

Demikian pula ma'rifat kepada-Nya tidak akan teraih, kecuali dengan terus "mencari" dan "berpikir". Dan keduanya tidak dapat dilakukan, kecuali menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Sebab, cinta dan ma'rifat kepada Allah tidak akan pernah bersandar di hati, kecuali bila hati itu sendiri terlepas dari rasa cinta kepada selain Allah Swt. Namun perhatikan peringatan Allah dalam al-Qur'an dan al--Sunnah. Allah Swt. berfirman yang artinya: "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna ..." (Q.S. Hud: 15).

Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya dunia itu dilaknat, berikut segenap isinya juga dilaknat, kecuali jika disertai untuk tujuan kepada Allah Swt.

Dari penjelasan di atas,? sudahlah jelas bahwa dunia adalah rumah jamuan bagi orang yang lewat. Bahkan rumah para penghuni, orang-orang yang lewat memanfaatkan mengambil bekal perjalanan, seperi pemanfaatan barang pinjaman. Kemudian dipindahkan kepada orang berikutnya dengan hati yang lapang tanpa ada rasa ketergantungan hati terhadap apa yang beralih dari tangannya. Bukannya seperti orang yang menyesal ketika dunianya berakhir ke tangan orang lain...