Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan pendorong hati yang
menyenangkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya
dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.
Menurut Imam al-Ghazali cinta dunia adalah pangkal dari segala dosa.
Dunia tidaklah sama dengan harta dan tahta. Harta dan tahta hanyalah
bagian terkecil dari kehidupan dunia yang amat luas itu.
Kehidupan dunia adalah kondisi obyektif sebelum meninggalkan dunia.
Sedangkan akhirat adalah kondisi obyektif setelah meninggal. Apapun isi
kehidupan yang dihadapi sebelum meninggal, maka itu adalah kehidupan
dunia, kecuali ilmu pengetahuan, ma'rifat dan kebebasan.
Kehidupan duniawi itu amat variatif. Apa yang ada setelah kematian, juga
merupakan wahana kenikmatan, bagi yang memiliki mata hati. Tetapi
wahana setelah meninggal itu bukanlah dunia, walaupun muncul di dunia.
Kepentingan manusia terhadap bumi itu pun bervariasi, bergantung pada
sisi bumi itu sendiri. Tanahnya secara umum dimanfaatkan oleh manusia
sebagai tempat tinggal dan kebun. Tetumbuhannya sebagai obat dan
makanan. Barang tambangnya sebagai sumber devisa, bahan-bahan produksi
dan berbagai peralatan. Sedangkan binatang-binatang difungsikan sebagai
alas kendaraan dan bahan makanan.
Adapun manusia itu sendiri berperan sebagai khalifah Allah yang bertugas
memakmurkan bumi dengan melakukan berbagai kebajikan dan mengembangkan
keturunan. Namun di balik semua itu berbagai ancaman terselubung
terhadap batin, berupa kedengkian, kesombongan, riya', berfoya-foya,
cinta dunia dan gila sanjungan.
Sementara kekayaan fisik adalah dunia lahiriah. Kesibukan manusia untuk
memakmurkan dan mengelola dunia melalui industri dan profesi, yang
membuat manusia sibuk sehingga lupa diri, lupa prinsip dan kehilangan
makna hidup.
Menurut Imam al-Ghazali kesibukan itu muncul akibat dua kaitan: pertama,
ketergantungan hati karena cinta dunianya, dan kedua, ketergantungan
fisik dengan sibuk mengolahnya.
Itulah hakikat dunia, mencintainya merupakan pangkal dari segala dosa.
Padahal dunia diciptakan semata sebagai bekal menuju akhirat. Hanya saja
gemerlap dunia itu seringkali membuat orang tersesat sehingga lupa pada
tujuan hidupnya sebagai musafir menuju alam akhir.
Ibarat pemula yang menunaikan ibadah haji, dia pasti disibukkan dengan
segala persiapan dan perbekalan maupun perlengkapan kendaraannya,
sehingga akhirnya dia pun tertinggal oleh rombongannya dan gagal
menunaikan ibadah haji, malah dimangsa oleh binatang buas di padang
pasir.
Itulah dunia yang tercela dan yang menghancurkan. Padahal substansinya
adalah ladang akhirat. Kehidupan dunia merupakan salah satu fase
perjalanan menuju Allah Swt. la ibarat perumahan yang dibangun di tengah
jalan. Di situ segala bekal perjalanan dipersiapkan dan disimpan. Siapa
pun yang mempersiapkan dan mengambil bekal perjalanannya di situ
sekadar kebutuhan, seperti bekal makanan, pakaian, menikah dan kebutuhan
lain, maka la benar-benar menanam tanaman dan akan dipetiknya kelak di
akhirat.
Tetapi, barangsiapa melebihi batas dalam mengambil bekal dan terlena
olehnya, maka dia bakal binasa. Menurut Imam al-Ghazali hidup di dunia,
ibarat suatu kaum yang mengendarai sebuah kapal. Di suatu pulau, kapal
itu berlabuh. Para awak kapal menyuruh penumpang turun untuk
melihat-lihat kondisi alam di pulau tersebut dan sekaligus memenuhi
hajat yang diperlukan.
Akan tetapi, mereka diliputi kekhawatiran tertinggal oleh kapal dan
tempatnya diambil alih orang lain. Maka, reaksi mereka pun berbeda-beda
satu sama lain.
Ada yang segera turun dan memenuhi hajat kebutuhannya, lalu segera
kembali ke kapal sehingga mendapatkan tempat yang luas dan masih kosong.
Ada yang terlena menyaksikan panorama pulau itu, sehingga terlambat naik
ke kapal dan akibatnya dia pun tidak mendapatkan tempat yang cukup luas
untuk dirinya berikut buah tangan yang dibawanya. Karenanya, buah
tangannya itu terpaksa dipikul di atas bahunya hingga ke tempat tujuan.
Demikianlah ilustrasi kehidupan di alam dunia bila dikaitkan dengan
kehidupan akhirat. Orang yang mengenal dirinya sendiri, akan mengenal
Tuhannya. Siapa yang mengenal perhiasan dunia dan mengenal akhirat, maka
la akan menyaksikan dengan cahaya jiwa, betapa kehidupan dunia itu
bertentangan dengan kehidupan akhirat. Salah satunya adalah, bahwa
seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan di akhirat, kecuali jika
menghadap Allah Swt. dengan ma'rifat dan mahabbah kepada-Nya. Dan
mahabbah tidak akan bisa dicapai, kecuali dengan melanggengkan dzikir.
Demikian pula ma'rifat kepada-Nya tidak akan teraih, kecuali dengan
terus "mencari" dan "berpikir". Dan keduanya tidak dapat dilakukan,
kecuali menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Sebab, cinta dan
ma'rifat kepada Allah tidak akan pernah bersandar di hati, kecuali bila
hati itu sendiri terlepas dari rasa cinta kepada selain Allah Swt. Namun
perhatikan peringatan Allah dalam al-Qur'an dan al--Sunnah. Allah Swt.
berfirman yang artinya: "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia
dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna ..." (Q.S. Hud: 15).
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya dunia itu dilaknat, berikut segenap
isinya juga dilaknat, kecuali jika disertai untuk tujuan kepada Allah
Swt.
Dari penjelasan di atas,? sudahlah jelas bahwa dunia adalah rumah jamuan
bagi orang yang lewat. Bahkan rumah para penghuni, orang-orang yang
lewat memanfaatkan mengambil bekal perjalanan, seperi pemanfaatan barang
pinjaman. Kemudian dipindahkan kepada orang berikutnya dengan hati yang
lapang tanpa ada rasa ketergantungan hati terhadap apa yang beralih
dari tangannya. Bukannya seperti orang yang menyesal ketika dunianya
berakhir ke tangan orang lain...